Politisasi Desa dan Politik berdesa


*Latar Belakang

Lahirnya UU no 6 2014 membawa angin segar bagi kehidupan berdesa, melalui tuntutan untuk mengevaluasi sistem berdesa yang sebelumnya bercokol di Indonesia. Semenjak jaman kerajaan, penjajahan hingga Indonesia merdeka, orde lama, orde Baru dan reformasi, desa dijadikan lahan tumbuh suburnya Negara. Pada zaman penjajahan desa dijadikan sumber penarikan upeti, pada zaman kolonial desa dijadikan sember ekonomi melalui "tanam paksa", pada zaman kemerdekaan desa dijadikan program lumbung desa, orde lama Kita kenal semboyan "desa mengepung Kota", pada orde baru ada "swasembada beras" dan di era reformasi kita kenal "desa pusat pertumbuhan". Untuk uu terbaru silahkan teman-teman menulis sendiri.

Seiring berjalannya waktu, diakuinya desa secara legalitas belakangan mengakibatkan kekuasaan terfragmentasi, legalitas belum bisa membawa perubahan yang signifikan pada intervensi masyarakat, lembaga masyarakat ataupun penguasaan dalam pengisian jabatan-jabat di desa. Dilain hal praktik politik musyawarah, gotong royong, rembuk desa, pemilihan kepala desa dari, oleh dan untuk desa setempat. Hal tersebut belakangan sangat jarang kita jumpai, pada itulah demokrasi asli desa.

Berlangsungnya proses reformasi berdesa tentu tidak dengan sendirinya membuat desa tersebut mampu menunjukan netralitas dan kemandirian terhadap pengaruh gerakan dominan. Dengan demikian tidak ada intitusi apapun di Indonesia yang secara historis telah dianggap strategis posisinya sejak dahulu, begitu strategisnya sehingga mampu menggoda setiap fase kehidupan keluasaan di Indonesia.

Timbulnya pertikaian dan persaingan antara Kemendes, Kemendagri yang diikuti dengan intervensi Perbub, berakibat destabilisasi sistem "desa mandiri". Pasca desentralisasi dan desa diakui haknya yang diberlakukan belakangan di Indonesia, persoalan pengakuan sebenarnya tidak terlalu membawa perubahan yang berarti. Jika diasumsikan dengan hadirnya UU untuk sebagai solusi alternatif mengurangi kecendrungan keikutcampuran birokratis, maka hampir dipastikan idealita itu menjadi Utopia.

Dengan adanya pengalihan kekuasaan pada desa yang memiliki keterbatasan pengalaman dalam mengelola birokrasi pelayanan sesuai prosedural, akan beresiko pada terjadinya inefesiensi dan inefektivitas dalam penyelengggaraan pemerintahan dan pelayan pada masyarakat desa. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah "desa" mengandung resiko terjadinya politisasi semua aspek kehidupan lokal; masyarakat adat termasuk desa adat.

Pengalihan kekuasaan tersebut tentu tidak mampu mengurangi politisasi desa, sebab hanya membawa pergeseran di tingkat aktor saja. Kalau pada masa orde baru aktor yang bermain banyak di dominasi oleh pemerintahan pusat (presiden dan lingkaran elit), maka setelah pengakuan, politisasi desa menjadi aktor baru. Pemerintahan pusat melalui Kemendes dan Kemendagri kini menjadi kekuatan hegemoni baru.

Fenomena lain ialah kemauan setengah hati pemerintahan Pusat untuk membagi kewenangan dengan desa sehingga hak pengakuan lantas menjadi jargon untuk mengobati luka-luka orde baru yang Top Down. Meski demikian, memimpikan desa sebagai entitas yang netral sangat sulit didapatkan. Secara Fakta kita tidak menolak, desa sebagai kekuataan yang mempunyai peran besar dalam mengurusi masyarakat desanya, ia tidak hanya mewakili sumber daya yang memadai bagi perannya "profil desa" namun juga menjadi pertarungan kekuatan politik disekitar desa. Oleh karena itu, paradigma kemandirian harus selalu direfleksikan ketika pembicaraan mengenai desa dilakukan. Itu aja, makasih
_____
*Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 GOMBALAN Ala FILSUF

Postmodern dan kecanggihan visi misi

44 Indikator Kemunduran HMI

Mengapa harus Filsafat Islam

Biografi lengkap 25 Nabi dan Rasul