Mudik, suatu curhatan KRITIS

Ap

Kita bersyukur menyaksikan seluruh masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong kembali ke tempat asalnya dewasa ini semakin meningkat. Peningkatan yang signifikan itu tentunya harus diiringi dengan suatu upaya penggalian untuk menangkap makna dan relevansi mudik tersebut secara lebih substansial.

Mudik itu tidak hanya berupa aktivitas perjalanan yang semata-mata hanya untuk mengisi waktu liburan dan memperoleh safaat orangtua, melainkan lebih dari itu, yaitu; napak tilas perjalanan masyarakat-masyarakat pekerja, pelajar hingga para politis. Karena itu sangat wajar apabila mudik dikategorikan jenis kerja Amalia yang paling sempurna, sebab ia tidak hanya bisa dilakukan dengan hati tulus-ikhlas, melainkan dengan menyertakan pula pikiran, kekuatan fisik serta materi.

Mudik itu sendiri bisa dilacak padanan kata dari kata "udik" yang berarti desa, pedalaman kampung dan paling terbelakang, maka beruntunglah orang-orang yang memilikinya hingga ia bisa melaksanakan. Namun oleh kebanyakan masyarakat Jawa kata mudik juga diindentikan dengan singkat dari "mulih dilik" yang berarti pulang sebentar, jadi secara umum mudik diartikan dengan kegiatan sejenak kembali ke kampung halaman saat tertentu (hari Raya).

Aktivitas mudik bisa kita jumpai dengan kebisingan bandara udara, kemacetan terminal dan ketinggalan kapal di pelabuhan. Akibat dari hal ini, bisa kita ketahui sebab ; pertama karena kerinduan akan kampung halamannya, kedua keinginan bertemu keluarga tercinta/asal usul/sanak family, ketiga ketertarikan pada budaya yang masih adiluhung, keempat kebisingan perkotaanlah mengindikasikan mudik dan yang terakhir ialah kembalinya manusia pada yang Fitrih, mungkin masih banyak lagi.

Kita sering menjumpai dan melihat argumentasi yang disajikan tema mudik lebih bersifat ilmiah an sich sebagaimana tersebut di atas, tentu ini tidaklah salah dan meskipun tidak semuanya benar. Yang benar ialah kajian yang melibatkan tiga aspek yang menonjol; Filosofis, Sosiologi politik dan Religius.

Sosiologi politik, pandangan ini mengedepankan aspek yang termanifestasikan dalam dunia ril; berkaitan dengan masalah masyarakat. Karena mudik termasuk aktivitas kehidupan, sedang yang kita sebut kehidupan meliputi masalah realitas keseharian yang beragam. Problem pendekatan ini, mudik diartikan sebagai bentuk "alienasi" dari Kota kepadatan penduduk atau pekerja menuju kampung/desa impian. Sebabnya sederhana karena kepemilikan dalam segala sektor kebijakan cuman segelintir orang, alih-alih Imperium dan uang cuman mereka para pria perkasa dan bermodal.

Pendekatan tersebut berbanding terbalik dengan landasan filosofis. Sayyid H Nasr dalam argumentasi mudik (pulang) bukan hanya dilakukan oleh manusia tapi dialami oleh seluruh semesta, melepaskan diri dari aktivitas keseharian baik itu aktivitas pekerjaan, profesionalitas, politik yang selama ini mengekangnya menuju yang paling terbelakang (desa). Ini bermakna bahwa keseharian manusia bukan hanya soal kenyamanan (materi-kota).

Begitupula pendekatan Religius melampaui itu semua, Baudrillard dalam analisis sosialnya dielaborasi lebih jauh, efek dari PULANG itu sendiri akan mencerminkan budaya Borjuis. Dimana orang tua dan anaknya berkumpul di meja makan dan mengobrol hari-hari mereka ditempat kerja dan menonton simulasi iklan biskuit Khong Guan hingga pada hari selanjutnya tinggal menunggu akhir daripada kehidupan sosial. Pahaman religiusitas sejalan dengan agama. Kata mudik sama halnya dengan kalimah "Raja'a, Rajaun, Rijalan" yang berarti pulang, pulang dalam pemahaman ini bisa diterjemahkan dengan kembali ke ASAL. kerinduan yang hakiki ialah kembali kepada yang Fitrih yakni ALLAH, sebagai titik pangkal dan kembalinya.

Sangat naif juga apabila muslim menganggap kembali ke fitrahnya ialah kembali suci seperti bayi yang baru lahir karena mereka saling bermaaf-maafan.
Hakekat dari kembali ke fitrahnya ialah kembali kepada jati diri bangsanya. Kembali suci ialah mengembalikan kesadaran alam pikiran ke kondisi awal, yaitu terbebas dari belenggu doktrin dogma yang telah di tanamkan Secara tersistematis melelui berbagai sistem pendidikan dan agama.

Konsep kembali ke fitrahnya yang suci ialah ELING atau SADAR dari penghianatan terhadap adat, tradisi dan budaya karena pengaruh kepentingan asing melalui pendidikan dan agama yang telah membutakan mata hati dan sanubari mayoritas masyarakat Indonesia.

Masyarakat yang terpengaruh doktrin dogmatis mengenai keluhuran ajaran bangsa lain akan melupakan jati dirinya yang meliputi ajaran, adat istiadat, budaya, tradisi, bahkan agama aslinya sendiri.
Kondisi itu yang membuat masyarakat Indonesia kehilangan kebangsaan dan rasa nasionalismenya.

Ketiga landasan itulah yang membentuk PERADABAN mudik, mengapa peradaban.! Karena gerakan tersebut secara kultural dapat terpahami dan dilakukan oleh semua kelas sosial, terutama masyarakat terbelakang. Mengapa hal mudik tidak dijadikan landasan untuk penyadaran MASSA untuk meraih keadilan dan kearifan lokal, bukankah keluarga dan hari silaturahmi ialah modal utamanya. Gerak sejarah akan menemui hasilnya, semoga saja.

Wallahu a'lam bishawab

__________
*Penulis merupakan salah satu perantau, kini hampir 10 tahun belum juga mudik.

Komentar

  1. mantul bang alman. semangat terus di perantauan suatu saat nanti akan kembali ke habitat semula.

    BalasHapus
  2. Mantap rew apa kabar di perantauan situ rew senogah cepat sukses rew. Aminn aminn

    BalasHapus
  3. Saya suka..
    Sukses selalu..
    Silakan bertamu ke blog saya juga om😁

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 GOMBALAN Ala FILSUF

Postmodern dan kecanggihan visi misi

44 Indikator Kemunduran HMI

Mengapa harus Filsafat Islam

Biografi lengkap 25 Nabi dan Rasul