Harapan Masyarakat Indonesia

Alman Pohahara; Pemerhati HMI Cab Malang

Perhelatan akbar Pemilihan Umum (pemilu)  Presiden Republik Indonesia sudah di depan mata, masa kampanye pemilu telah dibuka pada tanggal 23 september dan akan berlangsung sampai 13 April 2018, begitu pula Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan  Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiago Uno sebagai pasangan capres-cawapres peserta Pilpres 2019. Dalam menjalankan kampanye sekarang secara mencolok tidak kelihatan ialah lenyapnya posko-posko parpol yang sepanjang masa kampanye dan penyelenggaraan Pemilu 1999 berada di mana-mana. Kehadiran posko-posko yang dilengkapi satgas-satgas yang siaga selama 24 jam di masa lalu, tidak hanya merupakan satu bentuk kampanye tanpa batas, tetapi juga menciptakan situasi psikologis mencekam, yang pada gilirannya menghidupkan dan memancing potensi-potensi konflik di dalam masyarakat.

Begitupula, dari sudut substansi kampanye yang baru saja berlalu tidak terlalu banyak berubah dan sangat sulit kita indentifikasi; mana ini urusan privat dan urusan publik. Tema-tema kampanye juga umumnya masih normatif; lebih banyak retorik daripada substantif. Memang ada tema-tema tentang perubahan; menerapkan keadilan sosial dengan dalih merubah sistem, penciptaan good governance, pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan lain-lain, tetapi tidak begitu jelas bagaimana parpol-parpol yang menjual isu-isu seperti ini bisa memenuhi janji-janji tersebut. Dari sudut ini, kampanye memang lebih merupakan masa untuk mengumbar janji, tanpa dibarengi kejelasan tentang platform dan program yang jelas untuk mewujudkan semua itu.

Perlu adannya Rasa Multikultur

Kini bangsa indoneisa telah dipimpin tujuh presiden, yaitu Bung Karno hingga Joko widodo. Ketujuh presiden bukanlah presiden “biasa” seperti yang kita pahami pada presiden di negara-negara lain. Sebab selain bertindak selaku presiden menurut konstitusi yang berlaku, mereka berdua juga bertindak sebagai pemimpin dengan karisma pribadi yang dominan dan dasar legitimasi yang lebih daripada sekadar memenuhi ketentuan konstitusional atau legal-formal.
Kepemimpinan karismatik Bung Karno telah menjadi sumber penyelesaian masalah-masalah dasar pertumbuhan bangsa Indonesia. Dalam diri Bung Karno, karismanya telah melicinkan jalan bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa (nation) yang modern dengan segala kelengkapan atributnya yang fundamental seperti; bahasa persatuan, falsafah negara, konstitusi, dan institusi keindonesiaan (Baca; Dari Soekarno sampai SBY, Tjipa Lesmana. 2008).
Presiden yang akan datang, siapa pun, hanyalah seorang yang pertama dari yang sama (the first among the equals, atau primus inter pares). Hal itu berarti akan merupakan kali pertama bangsa kita mencoba dipimpin oleh seorang presiden yang biasa saja, dan belum tentu kita akan berhasil. Untuk berhasil dalam fase yang sama sekali baru tersebut, bangsa Indonesia amat perlu mendewasakan diri dalam kehidupan yang multikultural, sehingga bahwa demokrasi Indonesia tidak macet karena orang bisa mendengarkan pendapat orang lain, menghargai keberagaman dan mentolerir perbedaan agara Setiap pendapat yang berbeda tidak dianggap sebagai musuh dan harus dilawan.

Harapan Masyarakat Indonesia

Lafran Pane, Sang Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mungkin akan meratap tangis di alam yang berbeda. Ketika melihat kondisi organisasi yang menginjak 71 tahun ini, tak kunjung beranjak dari keterpurukannya, bahkan terbuai oleh kenikmatan kekuasaan. Di satu sisi, HMI sudah lebih dari setengah abad, berdiri tegap dan menyajikan berbagai cerita yang bersifat konstruktif bagi negeri ini. Namun, di sisi lain ia meninggalkan dampak destruktif bagi perkembangan gerakan kemahasiswaan yang selanjutkan akan menyentuh gerakan sosial secara general.
Pada era demokrasi saat ini, sebenarnya dalam hati nurani masing-masing kita menginsyafi bahwa gerakan mahasiswa kontemporer sedang berada di titik nadir. Organisasi mahasiswa saat ini baik itu di lembaga intra maupun ekstra universities, sepertinya enggan turun dari menara gading mereka dan menangkap lebih banyak aspirasi masyarakat di akar rumput, mahasiswa saat ini seakan terpenjara oleh romantisme kejayaan masa lalu dan kemudian alpa bersikap dan akhirnya gamang dalam membaca zaman, sehingga tidak mempunyai kontribusi yang maksimal dalam mengawal era globalisasi dan demokratisasi saat ini (baca; fase-fase HMI, pengukuhan-kini).
Sah-sah saja jika dalam internal kita dikatakan mengalami kemandekan intelektual dengan alasan dinamika masih terus terjadi; kita sekarang jamak mendapati konflik-konflik internal perebutan struktural kekuasaan di hampir semua tinggakatan HMI, dengan bersembunyi pada kedok dinamika pendewasaan dan pembenaran chauvinisme, pada akhirnya mahasiswa saat ini seakan bereuforia dengan kepentingan kubu masing-masing, saling bertengkar, saling menyalahkan dan saling berjibaku merontokkan satu sama lain.

Menuju Masyarakat Cerdas Berdemokrasi

Untuk mencapai keadaan yang tentunya akan jauh lebih baik lagi daripada sekarang, memerlukan persiapan-persiapan. Adalah keberhasilan pembangunan ekonomi dan pemerataan nasib pendidikan merupakan modal yang paling utama. Persiapan selanjutnya ialah penyaluran (lagi-lagi) unintended consequence yang merupakan dampak pergandaan (multiplyin effects) dari kemampuan ekonomi yang tinggi dan pendidikan yang meningkat. Yaitu, naik dan menanjaknya tuntutan untuk ikut berperan serta dan berpartisipasi dalam proses-proses dan struktur-struktur sosial, politik, ekonomi, budaya dll yang menyangkut kehidupan orang banyak.
Akhirnya, kita berdoa agar Pemilu tahun ini bisa berjalan damai, bebas, jujur dan terbuka. Dengan Pemilu yang berhasil baik, kita bisa optimis dengan masa depan negeri ini. Pemilu dalam arti partisipasi umum yang luas dan merata akan mempunyai dampak yang besar sekali bagi proses pendewasaan diri.
Lebih jauh lagi, demokratisasi yang juga melibatkan pelaksanaan hak-hak asasi dan kebebasan pokok, seperti kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat, akan menciptakan proses dan struktur sosial-politik yang objektif, sehingga persoalan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan tidak tergantung kepada pribadi pemimpin. Seperti kereta api yang melaju ke kota tujuan tanpa perlu terlalu tergantung kepada pribadi masinis, melainkan kepada rel yang terpasang dan pimpinan perjalanan kereta api di stasiun-stasiun antara, jalannya kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang telah terbina struktur-stukturnya tidak akan lagi tergantung kepada wibawa dan karisma pemimpin, tetapi partisipasi umum seluruh warga masyarakat secara merata dan terbuka (baca; Atas Nama Pengalaman, Nurcholis Madjid. 2002)

Wallahu a’lam bish-shawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 GOMBALAN Ala FILSUF

Postmodern dan kecanggihan visi misi

44 Indikator Kemunduran HMI

Mengapa harus Filsafat Islam

Biografi lengkap 25 Nabi dan Rasul